Langsung ke konten utama

Postingan

Suatu Ketika di Pantai Bugel

 Alarm mulai berbunyi, jam pada layar ponsel menunjukan pukul 4 pagi, dengan mata yang belum benar-benar terbuka, aku mulai beranjak dari tempat tidur, bergegas menuju kamar mandi. Setelah beres merapihkan barang-barang yang sudahku kemas sedari malam, jariku mengusap layar ponsel yang dibanjiri notifikasi pesan masuk yang belum aku balas.  “Kalo kamu jadi kesini, aku mau kamu nurut dengerin apa kata aku, dan lakuin pesan-pesan yang udah aku kasih tau ke kamu” , sejenak aku terdiam dan terpaku, sedikit kebingungan dan entah ingin menjawab apa, untuk beberapa pesan yang baru saja aku baca. Sambil membaca percakapan-percakapan semalam, pertikaian yang tak kunjung henti hingga aku terbangun kembali dari tidurku yang tak benar-benar nyenyak. Memacu kecepatan 100 Km/Jam dari toll Jakarta menuju Pelabuhan Merak, hingga tiba di gerbang pintu keluar toll Cilegon Barat. Tanpa sadar jam sudah menunjukan pukul 10:30 WIB. Dering ponsel berbunyi, “Kamu udah sampe mana?, estimasi kamu sampe sini jam
Postingan terbaru

Expecto Patronum from N.

"Jika kau merasa begitu dekat dengan seseorang, maka ada tempat lain yang kau beri untuk ia singgahi. Ya, benar, tepat di jantung hatimu. Namun, jika kau belum melakukan atau memberikannya ruang di  hatimu, maka kau belum benar-benar begitu dekat dengannya" - Sirius Black, dalam novel Harry Potter  "The Prison of Azkaban", 2004, karya  J.K Rowling. Seketika lamunanku berhenti sejenak, tatkala kata-kata itu muncul di benak ku. Ternyata benar apa yang dikatakan penyihir hebat dari Azkaban tersebut, dalam novelnya. Saat ini, ada seseorang yang benar-benar hidup dalam jantung hatiku hingga kini, dan nanti. Tulisan ini bukan tentang Sirius Black, ataupun tentang bagaimana Harry Potter bisa menghancurkan 7 Hocrux, dan membunuh The Dark Lord Voldemort.  Tapi, ini tentang seseorang yang sangat begitu dekat denganku, seseorang yang sorot matanya selalu membayangi, kata-katanya yang berputar di kepala, pelukannya yang tak ada henti-hentinya ku rindukan. Bak mantra penyembuh

Memoar

Seberapa banyak engkau mencatat? merekam? atau mungkin menggambar? ketiga hal tersebut hanya akan menjadkannya percuma, jika apa yang engkau catat, rekam, dan gambar tidak kau simpan baik-baik. Pada akhirnya kau memilih untuk membiarkannya untuk tetap ada di sana, bersemayam, dan selalu punya ruang tersendiri tanpa pernah mengizinkannya untuk dapat dijamah atau bahkan direbut oleh orang lain. Sebuah memoar tentang sesorang yang dapat mengubah diriku untuk mempunyai pandangan tersendiri dalam memandang sebuah ikatan yang tak tertulis, namun selalu terikat oleh batin. Mengajariku arti kata terima kasih atas segala hal yang pernah ada, mengajari aku tentang kata maaf atas tangis dari perasaan menyesal akibat sebuah kesalahan, dan kata tolong untuk tinggal dan menetap. "Berusahalah menjadi pribadi yang tetap dan selalu mencintai, bukan pribadi yang layak untuk dicintai" Kurang lebih begitu, petikan dari buku yang aku baca kemarin malam. Pada dasarnya, semua makhluk di muka bumi i

Fluktuasi Perasaan dan Sinestesia Hidup

Aku, adalah Fluktuasi dari apa yang aku terima, lihat, dengar dan rasakan. Metafora berupa ungkapan dari satu indra kepada indra lainya atas segala hal baik dan bahagia yang membentuk Sinestesia dalam hidup. Sebuah kecacatan atau mungkin kelebihan, aku tidak tau apa pastinya.  Terlahir menjadi seseorang yang memiliki ingatan kuat melalui visual  dan suara, dari apa yang aku lihat, dengar, dan pernah aku alami  sebelumnya. Terdengar rumit? Aneh? atau bahkan kau baru menemukan yang seperti  aku? Sebuah anugrah tatkala itu muncul dari ingatan-ingatan atas hal bahagia  yang pernahku alami semasa hidup. Sebuah derita ketika ingatan itu  muncul dari hal-hal pelik. Semuanya muncul secara sporadis bukan atas  kehendak ku, atau aku sedang mencoba mengingat-ngingatnya. “ Cihh!” Adalah ungkapan andalanku, ketika mencuat hal-hal yang  memaksaku mengingat hal-hal terburuk yang pernah aku alami.  Dan t

Suatu ketika di September

 Ketika detak seirama dengan sang detik, meranggas maju kedepan menciptakan ruang-ruang tersendiri untuk kenangan yang terbingkai oleh sang waktu. Kepalaku penuh dengan bingkai-bingkai yang tersusun rapih, yang selalu teringat meski tak sedang bersamanya. "Pukul berapa sekarang?",  Ucap seorang kawan, menghentikan lamunanku yang panjang, sepanjang  Aamiin  do'a sang Imam. " Pukul 13:22",  Jawabku.  S ambil terpaku menoleh kearah ponsel. pandanganku terkunci kepada kalender yang disajikan ponsel, di layar utama. " Enggak kerasa, ya.  Udah tanggal 25... Sebentar lagi bulan ini berakhir",  Ucapku dalam hati. Aku masih saja tak beranjak dari bangku sepanjang 3 meter, dibawah pohon itu, dan lamunan kembali menenggelamkan aku pada dimensinya, dimensi yang aku ciptakan sendiri sedari tadi. Tapi aku sadar, aku tak sendiri. Aku tenggelam bersamamu, dalam dimensi lamunan yang selalu melibatkanmu. Untuk itu, ku ucapkan sekali lagi. Maaf, harus melibatkanmu lagi d

Jingga

Jingga ada karena perpaduan antara merah dan kuning, dalam spektrum oranye. Dan jika dalam dunia psikologi dapat di artikan sebagai kegembiraan, semangat, kasih sayang dan kehangatan. Tulisan ini bukan tentang Jingga, namun tentang kau, dan tentang bagaimana kamu melukiskan warna cerahmu di kanvasku. "Jakarta tetap ramai, ya? Walaupun keadaan masih tetap seperti ini". Kataku bergumam dalam hati, sambil memacu sepeda motor dengan kecepatan 40/50 km per-jam. Kita sepakat bertemu, pada Minggu pagi, setelah 3 bulan dipisahkan oleh jarak, dan keadaan. Seperti biasanya, ia selalu cerah dan bersinar bak mentari di atas cakrawala. Aku yang masih tak percaya bahwa kita masih dapat dipertemukan, menghabiskan waktu bersama, tertawa, bercerita banyak hal, mencetak hari-hari terbaik versi kita berdua, dan begitu banyak yang terjadi di sepanjang Juli ini. Beberapa pertemuan dapat mengukir catatan tentang hari dimana aku merasakan seperti benar-benar hidup, seg

Biru

6 bulan telah berjalan, setengah tahun dari tahun yang katanya menjadi tahun paling berat, keluhan demi keluhan berlalu lalang tanpa permisi di media sosial. "2020 kenapa gini amat sihh", sebuah postingan warganet penuh kejengkelan. Ya, aku akui memang. Tahun ini adalah tahun dimana aku melepas kepergian Papah, tapi aku yakin itu semua atas kehendak-Nya. Berusaha meyakinkan diri setengah mati dari patah hati sejak Desember tahun lalu. Dan tahun ini adalah tahun dimana aku di temukan oleh seseorang yang mengajariku agar tetap kuat, tetap tersenyum walau berat, merapihkan puing demi puing harapan, akibat pernah dihancurkan. Pertemuan pertama kita yang begitu konyol. "Ih gue kira parkiran atas, ini mah parkiran bawah, iya banget jadi jalan kebawah pfft" , dengan memasang wajah jengkel. Aku hanya sedikit bicara, namun banyak tertawa akibat hal konyol itu, dan kita menertawakan nya di atas motor, sepanjang  jalan. Selain ia sangat menyayang